Jumat, 15 Maret 2013

Cerita Paling Sedih Tentang Istri dan Suami

Cerita Paling Sedih Tentang Istri dan Suami

Berikut kisah atau cerita sedih yang dapat memotivasi Anda dalam menjalani kehidupan berumah tangga, Kisah mengharukan atau kisah sedih ini tentang perjalanan cinta seorang istri yang tak pernah mencintai suaminya selama 10 tahun perjalanan pernikahannya hingga sang Suami meninggal dunia, dan akhirnya ia menyadari betapa besar cinta dan kasih sayang yang diberikan sang suami untuknya selama ini, dulu ia menghabiskan sepuluh tahun untuk membenci suaminya, tetapi setelah Suaminya tiada Ia menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupnya untuk mencintai sang Suami.

Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri.
Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka.

Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.

Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.

Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya.

Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.

Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orangtuaku.
Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.
Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.

“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut.
Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??”
“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu.
Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.

Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.
Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis.
Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.

Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.
Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.

Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.

Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.

Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.

Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.

Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.

Istriku Liliana tersayang,
Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.

Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.
Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.

Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, Buddy!

Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note.

Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.

Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.

Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?”
Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.”

Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?”
Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”

Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.

Bagaimana menurut Anda tentang Cerita di atas?
apa yang harus dilakukan??
dengan Like, Share, ataupun koment
bisa memberikan informasi atau pelajaran
berharga untuk sodara & sahabat kita




Minggu, 10 Maret 2013

SEBUAH KISAH NYATA, KESETIAAN SEORANG SUAMI TERHADAP ISTRINYA


SEBUAH KISAH NYATA, KESETIAAN SEORANG SUAMI TERHADAP ISTRINYA

Seorang suami di Al jazair memanggul istrinya siang dan malam. Hal ini sudah berlangsung 5 tahun sejak sang istri terkena stroke yang menyebabkan ia lumpuh total sehingga tidak lagi mampu menggerakkan seluruh anggota tubuhnya .

Koran Syuruq yang memberitakan bahwa laki2 itu bernama Salim ( 40 tahun ) seorang penjaga sekolah di sebuah kota kecil Almah. Dia menikah tahun 1996 dan telah dikaruniai seorang anak laki2.

Keluarga ini hidup bahagia di tempat tinggal mereka di salah satu ruang kelas di sekolah itu. Tapi pada tahun 2007 yll musibah itu datang merenggut kebahagiaan keluarga ini dan sejak itu pulalah sang istri tidak lagi mampu berbuat apa2 bahkan untuk berbicara saja pun ia tak mampu lagi ...

Sejak saat itu Salim sang suamilah yang mengurus istri dan rumah tangganya seorang diri . Pagi hari ia bangun pagi2 sekali mempersiapkan sarapan buat anak dan istrinya. Ia kemudian pergi untuk menunaikan tugasnya sebagai penjaga sekolah kemudian kembali lagi menemui sang istri setelah 1 jam .

Ia membersihkan rumah dan menyuapi istrinya itu, sebab untuk memegang sendok saja pun si istri tidak mampu. Ia kemudian meminumkan obat buat istrinya, menidurkannya diatas tempat tidur, menopangnya dengan bantal2.

Demikianlah ia bolak balik ke pekerjaannya kemudian kepada istrinya setiap satu jam sekali. Di malam hari paling tidak Salim terbangun 4 kali untuk membalikkan posisi tidur istrinya dari satu sisi ke sisi lainnya. Salim berkata : " kadangkala istriku menahankan rasa sakitnya dan membiarkanku tidur karena merasa kasihan padaku "

Subhanallah .... kesabaran itu memang pahit ... tapi juga indah sekali ...

Wallahu’alam bishshawab, ..

Semoga kita dapat mengambil pengetahuan yang bermanfaat dan bernilai ibadah ....

Minggu, 03 Maret 2013

CARA MENGIKIS KESOMBONGAN DIRI

CARA MENGIKIS KESOMBONGAN DIRI

Nabi Muhammad SAW. Bersabda, ” Tidak akan masuk surga siapa yang didalam hatinya ada kesombongan walau seberat debu”
(HR. Muslim).

Sahabat, merasa diri besar atau sombong adalah penyakit hati yang sangat membahayakan. Kita harus berhati-hati dengan penyakit ini. Karena sombong, setan terusir dari surga ...

Sahabat, merasa diri besar atau sombong adalah penyakit hati yang sangat membahayakan. Kita harus berhati-hati dengan penyakit ini. Karena sombong, setan terusir dari surga dan kemudian dikutuk Allah selamanya.

Allah benar-benar mengharamkan surga bagi orang-orang sombong. Sombong atau takabur hanya layak bagi allah yang memang memiliki keagungan sempurna. Mahluk hanya sekedar menerima kemurahan dari-Nya.

Penyakit sombong bagaikan bau busuk yang sulit untuk disembunyikan. Orang yang mengidap penyakit ini demikian mudah dilihat dan dirasakan.

Perhatikan penampilan orang sombong. Mulai dari ujung rambut, lirikan mata, tarikan napas, senyum sinis, tutur kata, nada suara, bahkan senandunya pun benar-benar mununjukan keangkuhan. Begitupun cara berjalan, gerak-gerik tangan bahkan hingga ke jari-jari kaki. Semuanya menunjukan orang yang buruk perangainya.
Ada pertanyaan menarik.

Pantaskah sebenarnya orang bersikap sombong, jika seluruh kabaikan pada dirinya semata-mata hanya berkat kemurahan Allah kepadanya....? Padahal jika Allah menghendaki, dia bisa terlahir sebagai kambing. Tentu saja saat itu tidak ada lagi yang dapat disombongkan. Atau kalau Allah berkehendak, dia bisa terlahir dengan otak minim. Atau allah dalam sekejap saja mampu merubah nasib seseorang dari kaya raya menjadi miskin papa dan sengsara...begitu pula sebaliknya , Apalagi yang bisa disombongkan....?

Kita begitu rendah dan lemah dihadapan allah.
Maka kita harus hati-hati mengahadapi penyakit hati ini. Langkah hati-hati ini bisa diawali dengan mengenali ciri-ciri kesombongan.

Rosulullah SAW. Bersabda, ”Sombong Itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan sesama manusia” (HR. Muslim).

Jika dalam hati kita ada satu atau kedua-duanya, maka kita akan masuk ke dalam deretan orang-orang sombong.

Bagaimana cara menghindari dari sikap sombong..?

Pertama, mengetahui dan memahami ilmunya; apa dan bagaimana sombong itu, serta bahaya yang ditimbulkanya. Sadarilah, sifat sombong tidak disukai manusia, diakhirat mendapat siksa.

Kedua, menyadari kelemahan dan keterbatasan diri sebagai manusia.

Ketiga, berlatih untuk berlapang dada menerima kebenaran dari siapa pun.

Keempat, Berlatih untuk rendah hati dan tidak memandang rendah orang lain. Dihapan Allah semua orang sama, yang membedakan hanya ketakwaan. Kelima, berdoalah agar kita dijauhkan dari kesombongan.

Bila kesombongan menghinggapi diri, mohon segera disadarkan. Nasehatilah aku dan dia dengan cara yang baik. Sebab kesombongan akan membuat diri ini lebih hebat dari orang lain. Padahal banyak kelemahan diri yang tentu saja masih harus terus diperbaiki. Introspeksi diri menjadi kunci utamanya.

Bukankah dosa pertama yang terjadi adalah berangkat dari kesombongan, yaitu Iblis sombong tidak mau sujud kepada Nabi Adam as. Cikal bakal kedurhakaan Iblis kepada Alloh SWT, dari rasa sombong, membantah perintah, Iri kepada Nabi Adam as

Luqman al-Hakim memberi nasihat kepada anak-anaknya. "Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri." (QS. [31]: 18).

"Tiada masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat sebesar biji sawi dari kesombongan. (HR. Muslim)
"Kebesaran (kesombongan atau kecongkakan) adalah pakaian-Ku dan keagungan adalah sarung-Ku. Barang siapa merampas salah satu (dari keduanya), Aku lempar dia ke neraka (jahanam).
(HR Abu Dawud)

Bersikaplah dengan Rendah Hati, Bukan Rendah Diri

Selalu rendah hati adalah kunci untuk memerangi sifat sombong. Tapi perlu diingat! rendah hati bukanlah rendah diri. Maksud dari rendah hati yaitu senang berlaku baik terhadap semua orang. Selalu menolong orang-orang yang membutuhkan bantuan kita. Sehingga kita tidak lakunya berlagak sombong.

"Sesungguhnya Allah SWT telah mewahyukan kepadaku agar kalian bertawadhu', sehingga tak seorang pun menyombongkan diri kepada yang lain, atau seseorang tiada menganiaya kepada yang lainnya." (HR.Muslim)

Dan berdoalah agar terhindar dari Sifat Sombong dan Malas

Ya Allah ya Tuhanku aku berlindung kepada-Mu dari sifat malas dan kesombongan. Ya Allah ya rahman aku berlindung kepada-Mu dari siksaan api neraka....Amiin...!

Semoga Alloh SWT selalu memberikan ampunan kepada saya dan kita semua atas semua jenis kesombongan yang telah dan akan kita lakukan. dan Semoga Alloh SWT selalu melimpahkan kebaikan dan arah petunjuk jalan yang lurus dan berbuat kebaikan dan kesholehan diri, kesholehan keluarga dan kesholehan sosial seperti apa yang di teladankan Junjungan Nabi Besar Muhammad SAW.

Bagi seorang penulis, kesombongan kerap menerpa diri. Apalagi bila karya tulisnya banyak dipuja-puji. Jadilah diri yang awalnya rendah hati menjadi sombong, karena terlalu membanggakan diri.

Pujian terkadang membuat kita lupa diri dan tenggelam dalam banjir kesombongan. Seolah-olah hanya karya tulis kitalah yang paling hebat dan merendahkan karya tulis orang lain.
Ketika ada kritik menerpa diri seorang penulis yang selalu dipuja puji. Sikapilah ia dengan bijaksana. Di sanalah akan terlihat kearifan atau keangkuhan penulisnya. Kesabaran teruji, dan yakinlah bahwa kesabaran akan berbuah kebahagiaan. Kata sebaiknya dilawan dengan kata dan bukan mata.

Sebenarnya, tak ada penulis nomor satu. Sebab penulis bukan profesi yang diperuntukkan untuk pertandingan seperti halnya lomba berlari atau tinju.

Penulis adalah sebuah profesi dimana dirinya mampu mengungkapkan imajinasi dan kreativitasnya dalam bentuk tulisan sehingga enak dibaca dan mampu untuk dipahami maknanya. Pembaca merasa senang dan mendapatkan pencerahan dari pembacanya. maksud serta tujuannya sampai dan menjadi daya ungkit bagi pembacanya.

Kesombongan seorang penulis semoga tak menghingapi diri ini. Tetaplah selalu rendah hati. Di atas langit pastilah ada langit. Diri ini baru saja belajar menulis, dan terus belajar menulis setiap hari. Bila ada kesombongan terselip disitu, mohon dimaafkan dan dibukakan pintu maaf yang seluas-luasnya.

Negara kita adalah negara kepulauan. Ribuan pulau ada di dalamnya. Lautan menjadi penghubungnya. Dalamnya laut dapat diduga, namun dalamnya hati siapa yang akan tahu..?

"Semoga kita dimudahkan dalam segala urusan di dunia dan akherat"
Wallahu a`lam bish-shawab, semoga bermanfaat
wassalamu `alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

(Walhamdulillahirobbil'alamiin)

{Editor: Ashabul kahfi}